Banten – Holil, Jaji dan Dayat merupakan 3 orang petani yang berasal dari Desa Rancapinang, Kec. Cimanggu, Kab. Pandeglang – Banten (Ujung Kulon). Secara turun temurun, masyarakat yang berada di kawasan taman nasional ujung kulon hidup dengan menyandarkan kebutuhan hariannya dari tanaman yang ditanaminya. Begitu juga dengan kebudayaan yang secara turun-temurun yaitu “nganjingan” (Berburu hama babi hutan menggunakan anjing dan bedil locok) yang lahir dari aktivitas masyarakat untuk melindungi tanamannya dari serangan hama Babi hutan.
Bahwa Secara berkelompok dan bergantian setiap minggu (bahkan terkadang tidak ada) aktifitas “nganjingan” dilaksanakan, karena setiap berburu belum tentu mendapatkan hasil. Dan kemudian kebudayaan tersebut terus dijalankan hingga kini.
Bahwa “bedil locok” adalah barang yang dimiliki secara umum oleh masyarakat yang berada di kawasan taman nasional ujung kulon dan hanya khusus digunakan untuk memburu hama babi, hama yang merusak tanaman kebun dan persawahan masyarakat. Bahkan kebudayaan “nganjingan” ini tidak pernah mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak setiap tahunnya dan bahkan pihak kepolisian membiarkan selama bertahun-tahun tanpa ada sosialisasi tentang “bedil locok” tersebut
Tetapi pada tanggal 25 Juli 2023 Jaji ditangkap,Sementara Holil dan Dayat pada tanggal 26 Juli 2023 oleh Kepolisian Daerah Banten. Penangkapan yang dilakukan oleh Polda Banten kepada Holil, Jaji dan Dayat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
Penangkapan yang dilakukan oleh Polda Banten kepada Holil, Jaji dan Dayat dikarenakan ketiganya ditemukan memiliki dan/menyimpan senjata api “bedil locok” yang diatur dalam UU Darurat No. 12 Tahun 1951 Darurat dengan ancaman pidana hukuman mati, penjara seumur hidup dan/atau penjara setinggi-tingginya 20 tahun.
Setelah dilakukan penangkapan, Holil, Jaji dan Dayat ditahan sejak 26 Juli 2023 di Tahanan Polda Banten. Penahanan yang dilakukan oleh Polda Banten kepada Holil, Jaji dan Dayat dilakukan tanpa surat perintah penahanan. Selain itu, Penahanan yang dilakukan oleh Polda Banten kepada Holil, Jaji dan Dayat tanpa terlebih dahulu ketiganya ditetapkan sebagai Tersangka dan diberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan.
Kami sangat menyayangkan penangkapan yang dilakukan oleh Subdit Reserse Mobil (Resmob) Ditreskrimum Polda Banten kepada Holil, Jaji dan Dayat. Hanya karena meyimpan dan/atau memiliki senjata api “bedil locok” yang digunakan ketiganya untuk berburu babi demi menjaga kebun mau tidak mau harus dihadapkan dengan ancaman pidana hukuman mati, penjara seumur hidup dan/atau penjara setinggi-tingginya 20 tahun.
Kami menilai apabila pihak Penyidik Polda Banten melanjutkan perkara ini, maka Kapolda Banten tidak menjadikan hukum pidana sebagai instrumen terakhir (ultimum remedium) untuk mengatur kehidupan masyarakat, melainkan sebagai instrumen pertama (primum remedium) untuk mengontrol tingkah laku individu dalam kehidupan masyarakat yang berada di kawasan taman nasional ujung kulon. Oleh karena itu, penggunaan hukum pidana dalam hal ini mempidanakan masyarakat yang memiliki senjata api “bedil locok” untuk mengatur masyarakat mengenai aktivitas tertentu bukan suatu keharusan, melainkan hanya salah satu alternatif dari instrumen instrumen pengaturan yang tersedia.
Selain alasan penangkapan yang seperti dipaksakan “Kriminalisasi”, prosedur penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Polda Banten tidak berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan melanggar Hak Asasi Manusia.
Atas dasar hal tersebut kami menuntut kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – KLHK RI dan juga Balai Taman Nasional Ujung Kulon serta POLDA Banten untuk :
1. Hentikan proses hukum dan bebaskan 3 petani dan masyarakat yang di tahan dengan tuduhan tidak mendasar dan mengada-ngada, bila memang kepemilikan senjata api “bedil locok” adalah kejahatan maka seluruh masyarakatlah yang harusnya ditangkap dan di tahan.
2. POLDA Banten segera hentikan membuat ketakutan di masyarakat dan hentikan melakukan razia bedil Locok masyarakat yang digunakan untuk berburu hama. Jika memang bedil locok diambil. Maka, Polda Banten, Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan juga KLHK harus bertanggungjawab mengurus hama yang mengganggu tanaman masyarakat dengan menjaga tanaman masyarakat dari serangan hama.
3. Tarik mundur pasukan Polisi di kampung-kampung desa yang hanya membuat resah dan membuat ketakutan masyarakat. Serta hentikan tindakan upaya kriminalisasi dan intimidasi kepada petani, pemburu hama.
4. Pecat seluruh pejabat POLDA Banten, Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan jajarannya yang melakukan operasi penangkapan terhadap masyarakat yang tidak bersalah.
5. Berikan jaminan dan perlindungan hukum bagi masyarakat di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon
6. Hentikan oprasi jahat Taman Nasional Ujung Kulon- TNUK dengan berbagai cara curangnya untuk mengusir masyarakat dari lahan pertanian dan perkebunan masyarakat dan hentikan menggunakan aparat negara untuk menakuti-takuti masyarakat
7. Wujudkan Reforma Agraria sejati dengan mendistribusikan tanah kepada masyarakat di Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon tanpa syarat.
Demikian pernyataan sikap permulaan ini sebagai sikap LBH PIJAR – AGRA Banten dalam merespon ditangkapnya 3 petani dan masyarakat lainnya oleh Polda Banten.
Narahubung: :
0813-9846-3484 – Rizal Hakiki (LBH PIJAR)
0812-1373-0919 – Raden Deden Fajarullah (Agra Banten)